Mengenal Dunia ABG, Gaya Hidup dan Prostitusi

Dalam pekan ini Porestabes Surabaya membeber data yang menunjukkan bahwa kasus perdagangan orang untuk prostitusi, sudah mengarah ke tingkat yang menggiriskan. Tekanan ekonomi jadi alasan klasik, namun sejatinya pengaruh gaya hidup lebih dominan.

Hanya dalam rentang dua bulan di awal tahun 2011 (Januari-Februari), aparat Satreskrim Polrestabes Surabaya berhasil mengungkap 25 kasus trafficking (perdagangan orang) yang berkaitan dengan prostitusi.

Menurut catatan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim, sekitar 70 persen dari 25 kasus itu, melibatkan anak-anak remaja usia SMP-SMA (istilahnya ABG atau anak baru gede) baik sebagai korban maupun pelaku.

�Bahkan yang SMP juga mendominasi. Kasus ini sangat ironis sekali, karena mereka seharusnya masih berada di bawah pengawasan orangtua,� begitu kata Kanit (Kepala Unit) PPA Satreskrim Polrestabes Surabaya AKP Herlina, Selasa lalu (1/3).

Mungkin yang disebut ironis oleh Herlina itu mungkin belum seberapa. Masalahnya, di antara 25 kasus trafficking yang diungkap Satreskrim tersebut, ada yang melibatkan seorang siswi SMA dan seorang guru, dan seorang protolan SMA bersangkutan, yang berusia belasan tahun.

Sang siswi adalah �orang yang dijual�, si guru sebagai �pembeli�, dan �penjualnya� adalah senior sang siswi yang sudah drop-out dari sekolah tersebut. Satu sama lain saling membutuhkan. Benar-benar suatu simbiosis yang bejat, bukan?

Duh, tanda-tanda kian dekatnya akhir zaman, kah? Entah. Yang jelas Herlina mengatakan, sebagian besar dari pelaku maupun �korban� – mungkin lebih tepatnya dengan senang hati menjadi korban – trafficking mengaku, faktor tekanan ekonomi adalah pemicu maraknya trafficking.

Memang, alasan klasik yang cukup populer di dunia prostitusi. Tapi patut dicermati, Herlina juga mengatakan, tuntutan gaya hidup perkotaan membuat para pelaku maupun �korban� merasa terdesak oleh tekanan ekonomi tersebut, sehingga menghalalkan segala cara untuk cepat mendapat banyak uang.

�Emosi yang tidak stabil, terkadang juga memancing anak (pelaku maupun korban�) berpikiran sempit sehingga mudah terpedaya dengan iming-iming mendapat banyak uang,� papar Herlina.

Puncak Gunung Es

Kasus trafficking berkaitan dengan prostitusi yang diungkapkan Herlina bukanlah fenomena yang sama sekali baru. Juga fenomena lokal. Kasus semacam itu sudah cukup umum terjadi di kota-kota besar di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan sudah merambah kota-kota satelit hingga ke pedesaan.

Tengok saja kembali kasus-kasus video mesum yang banyak beredar di internet, satu sampai dua tahun lalu. Banyak pelakonnya adalah remaja-remaja siswa SMP atau SMA, malah tak sedikit pula pelajar-pelajar dari kalangan pesantren.

Di bagian lain, jumlah kasus yang dibeber Herlina itu bukan pula angka yang luar biasa. Di Kota Medan, remaja usia SMP dan SMA yang terjebak prostitusi maupun terlibat trafficking jumlahnya jauh lebih besar.

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) menemukan sedikitnya 2.000 ABG, atau remaja di Kota Medan terjebak dalam praktek prostitusi. �Sekitar 45 persen diantaranya masih berstatus pelajar SLTP dan SLTA,� kata Direktur Eksekutif PKPA, Ahmad Sofian, seperti dilansir Waspada Online, Selasa 11 Januari lalu.

Sofian mengatakan, temuan itu didapatkan dari wawancara terhadap sejumlah anak yang diketahui terlibat dalam praktek prostitusi di Kota Medan pada tahun 2008. Namun diyakini, jumlahnya dari tahun ke tahun, semakin meningkat.

Angka 2.000 itu, lanjutnya, bisa jadi hanyalah �puncak gunung es�, atau yang tampak di permukaan saja. Bisa jadi jumlah yang sebenarnya, yang belum terungkap ke permukaan, jauh lebih besar, karena objek yang diwawancarai masih sedikit berdasarkan keterangan anak-anak yang terlibat dalam praktek prostitusi.

Meski diyakini jumlah anak yang menjadi objek seks itu cukup besar, tetapi, kata Sofian, prakteknya sulit diketahui karena sengaja ditutupi. Hal itu disebabkan praktek prostitusi berbeda dengan kejahatan narkoba atau pencurian yang pelakunya dapat terlihat dengan jelas. �Mereka sangat tertutup. Apalagi �konsumennya� juga tidak ingin identitasnya diketahui,� kata Sofian.

Umumnya, ungkap Sofian, anak-anak yang terjebak dalam prostitusi itu �dipelihara� pihak tertentu dengan diberikan fasilitas yang cukup memadai, termasuk untuk tempat tinggal. Biasanya, mereka ditempatkan di sebuah rumah yang terisolir atau di sebuah komplek perumahan yang menganut pola hidup metropolis yang tidak peduli dengan lingkungan sekitar. �Mau pulang malam hari atau dijemput oleh siapa pun, tidak ada yang peduli,� katanya.

Pengaruh Tayangan TV

Sofian menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan anak-anak di bawah umur itu terjebak dalam praktik prostitusi. Diantaranya, tingginya permintaan untuk melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur sehingga kalangan mucikari selalu berupaya memenuhinya dengan mendekati kalangan pelajar.

Selain itu, cukup banyak masyarakat yang mengalami kelainan seks yang hanya memiliki gairah ketika mendapatkan anak-anak di bawah umur. Fenomena seperti itu diperkirakan akan terus meningkat, sehingga praktik prostitusi dengan cara mengeksplotasi anak sebagai objek seks akan semakin tinggi. �Banyak pihak-pihak yang bersedia membayar lebih untuk dapat berhubungan seks dengan anak-anak di bawah umur,� katanya.

Ironisnya, cukup banyak anak-anak di bawah umur yang bersedia menjadi objek seks, baik disebabkan memenuhi kebutuhan hidup maupun karena memiliki sifat konsumtif. Tahun lalu, fenomena itu sudah cukup marak di kota-kota satelit atau kota kecil, seperti Tasikmalaya.

Kepala Program Mitra Citra Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, Tasikmalaya, Iwan Riswan, September tahun lalu, mengungkapkan: �Hasil survei menunjukkan, salah satu faktor penyebab maraknya prostitusi di kalangan remaja, adalah tren gaya hidup yang glamor.�

Eko Kriswanto, aktivis program Save the Children di Jawa Barat, mengatakan teknologi tinggi justru menjadi batu sandungan terhadap sulitnya mengungkapkan prostitusi anak dan remaja secara terselubung. Dia mengatakan sejak program ini dimulai di Bandung pada tahun 2002, perubahan perilaku pekerja seks anak telah terjadi.

�Sebelumnya, pelacuran dilakukan secara terbuka di kawasan lampu merah atau di jalanan,� ujarnya. �Sekarang, mereka bisa melakukan transaksi tanpa terdeteksi dengan menggunakan sarana jaringan sosial seperti Facebook atau melalui email dan telepon seluler.�

Eko melanjutkan: �Ini tidak lagi selalu karena kesulitan ekonomi. Kadang-kadang mereka suka rela melibatkan diri ke dalam �bisnis� (prostitusi-Red) sebagai pertukaran untuk obat-obatan, uang tunai, kredit telepon atau hanya makanan gratis.�

Pernyataan senada sudah diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Inne Silviane, dua tahun lalu. Katanya, gaya hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan sinetron di televisi. �Remaja digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang yang dimilikinya,� tutur Inne, Januari 2009.

Apalagi remaja sedang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa, sehingga pengaruh yang masuk tanpa filter itu, akan mencengkeram kuat jiwa mereka. �Mereka biasanya ingin mencoba-coba sesuatu. Mereka juga ingin dihargai peergroup-nya (teman sebaya),� katanya.

Inne mengakui memang ada remaja yang terlibat prostitusi disebabkan faktor ekonomi, tapi kecenderungan sekarang lebih dipengaruhi gaya hidup. Dia menambahkan, PKBI pernah melakukan penelitian mengenai remaja (usia 10-24 tahun) di beberapa kota besar di Indonesia. Hasilnya mengejutkan, karena 15% hingga 20% remaja mengaku telah melakukan hubungan seksual pranikah.

sumber: http://www.surabayapost.co.id/


0 komentar: