oleh : Dr. Rafiq Yunus Al-Mishriy
penerjemah : Samsul Basri, S.Si.
Buku Fiqhi Al-Muamalah Al-Maaliyyah
(Halaman : 291 – 294)
Downoad tulisan ini
Defenisi :
Akad At-Tauriid
dalam undang-undang terbaru : ((akad dimana seseorang membuat perjanjian yang
dibutuhkannya yaitu dengan menyerahkan barang atau jasa tertentu, yang sifatnya
berkala dan teratur dengan interval waktu yang ditentukan kepada orang lain
sebagai pengganti atas uang yang ditetapkan))[1].
Dan bisa
juga defenisi Akad At-Tauriid, bahwasanya ia adalah kesepakatan dimana
salahsatu diantara dua pihak membuat perjanjian di dalamnya bahwa ia akan
menyerahkan atau mengirim kepada pihak lain barang yang telah dijelaskan
sifat-sifatnya, dengan sekali pengiriman atau beberapa kali pengiriman, sesuai
dengan biaya yang ditentukan, biasanya pembayaran dilakukan berdasarkan satu kali
angsuran atau beberapa kali angsuran. Dimana pihak pembeli membayar angsuran
dengan harga yang telah ditetapkan setiap kali menerima angsuran dari
penjualan.
Dan akad
At-Tauriid bisa skala regional (dalm negeri) atau internasional, atau bisa juga
antara dua perusahaan pada satu negara, atau dua perusahaan pada dua negara
yang berbeda. Sehingga At-Tauriid tidak bermakna sempit bahwa dia adalah akad
yang hanya berhubungan dengan kegiatan impor ataupun ekspor. Dalam At-Tauriid
pihak penjual dinamakan Muwarridun (Pengirim), sedangkan pihak pembeli
dinamakan Muwarradun lahu (Penerima).
Dan
diantara contoh Akad Tauriidu assil-i (Pengiriman barang dagangan) :
pengiriman makanan, obat-obatan, pakaian, dan bahan bakar untuk rumah sakit,
sekolah, pesawat, unit-unit kemiliteran dan lain sebagainya.
Dan
diantara contoh akad Tauriidu alkhidmaat (Pengiriman jasa) : pengiriman
aliran listrik, gas, dan air. Pengiriman surat kabar, majallah, dan tenaga
kerja. Dan pemeliharaan kebersihan, perawatan gedung-gedung sekolah dan rumah
sakit.
Pihak
pembeli menginginkan pada akad at-tauriid jaminan mendapatkan komoditi atau
barang dagangan yang diminta, sesuai dengan waktu yang disepakati, agar segera mengambil
manfaat darinya (komoditi atau barang dagangan tersebut) pada kegiatan perdagangan,
industri, pertanian, dan jasa.
Pihak
pembeli dengan cara tersebut memperkecil pengeluaran anggaran dan resiko, atas
barang dagangan atau komoditi yang cepat rusak, atau barang yang mengandung zat
atau unsur yang terbatas karena waktunya
(kadaluarsa) atau juga karena kelangkaannya (bentuknya). Atau yang dimaksudkan adalah
barunya suatu barang itu sesuai dengan kualitasnya.
Dan
Pihak penjual mengharapkan keuntungan pada akad at-tauriid, dengan menyetujui
permintaan para pembeli, melalui kegiatan perdagangan yang bermanfaat. Maka
dalam hal ini pihak penjual memperkecil resiko kemerosotan barang-barangnya,
karena dia memproduksi barang-barang itu setelah saling berakad atas barang
tersebut.
Dan
apabila harga barang ditentukan lebih dahulu ketika akad, maka pihak pembeli
mengetahui lebih awal harga pembelian, dan tentulah ia bisa menaksir biaya dan
harga-harga produksinya. Dan bagi pihak penjual dengan mengetahui lebih dahulu
harga penjualan, dapat menaksir besar pendapatannya.
Adapun
harga sekiranya berdasarkan pasar, maka sesungguhnya manfaat akad hanya
terbatas pada kepercayaan semua pihak baik
penjual ataupun pembeli kepada barang yang dimaksudkannya, pada waktu yang telah
disepakati.
Perbandingan:
1.
As-Salam : Akad At-Tauriid menyerupai Akad As-Salam,
ditinjau dari penjualan yang kedua-duanya diakhirkan, dan adanya deskripsi
sifat-sifat barang sebagai jaminannya. Dan juga bila ditinjau dari keharusan
pembelian bagi pihak pembeli, yaitu apabila barang telah datang dengan
sifat-sifat yang sesuai dengan penggambarannya.
2.
Al-Istishnaa’ : Akad At-Tauriid menyerupai akad
Al-Istishnaa’ bagi madzhab hanafiy, ditinjau ditinjau dari biaya pada kedua
akad tersebut yang tidak mempersyaratkan penyegeraannya.
3.
Menjual apa yang tidak ada padanya :
عن حكيم بن حزام قال : قلت : يا رسول الله يأتيني الرجل, فيسألني عن البيع,
ليس عندي ما أبيعه منه, ثم أبتاعه من السوق. فقال : لا تبيع ما ليس عندك.
dari hakim bin hizam berkata : aku berkata : wahai
Rasulullah seorang lelaki mendatangiku, kemudian meminta dariku menjual
(sesuatu), tidak ada padaku sesuatu yang bisa di jual padanya, kemudian aku
membelinya di pasar. Maka (Nabi Shallallaahu ‘alaihi washallam) bersabda :
“Jangan menjual apa yang tidak ada padamu”.[2]
Dan dalam fathul baariy : )) أبيعه منه,
ثم أبتاعه له من السوق )) Aku menjual padanya
sesuatu, kemudian segera saya membeli untuknya di pasar.[3]
Menurut Ibnul qayyim bahwasanya penjual yang
masuk dalam kategori larangan ini adalah penjual yang bukanlah tujuannya
berdagang dengan barang, menjual dan membeli, dan bukan pula pekerjaannya,
tidak ada utang baginya, bukan urusannya dan bukan perdagangannya, lalu ia
menjual barang dengan harga tertentu, kemudian membelinya dengan harga yang
lebih murah, lalu menyerahkannya kepada pembeli, karena suka pada pekerjaan
yang ada jaminannya, dan itu karena dia bukanlah pedagang yang berpengalaman
dengan barang dagangan, melainkan hanyalah menginginkan membeli barang tersebut
sebagai bentuk tanggung jawab atas suatu perintah, dan tujuannya adalah
diberikan uang, keuntungan yang jelas, dan tidak menanggung resiko, maka cara
penjualan sperti inilah yang masuk dalam larangan menjual apa yang tidak ada
padanya. Sebagaimana termasuk dalam larangan ini adalah keuntungan yang tidak
mengandung kerugian. Maka Perdagangan yang disyariatkan adalah perdagangan yang
diperhadapkan dengan banyak resiko.[4]
Maka al-muwarrid (penjual) pada akad
at-tauriid wajib menjadi pedagang yang benar sesuai dengan syariat, siap
menanggung resiko, agar tidak termasuk pedagang yang terlarang sebagaimana yang
dijelaskan barusan.
4.
Menjual utang dengan utang : mengakhirkan pertukaran :
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه و سلم نهى عن بيع الكالئ بالكالئ. وزيد في
بعض الروايات : يعني : الدين بالدين,
أو النسيئة بالنسيئة.
Dari Ibnu Umar bahwasanya Nabi Shallallaahu
‘alaihi wasallam melarang dari jual beli Al-kaali dengan Al-kaali[5].
Dalam beberapa riwayat ditambahkan : yaitu : utang dengan utang atau An-Nasiiah
dengan an-nasiiah.
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa
sesungguhnya dua pihak, yang apabila keduanya saling melakukan jual beli, dimana
penjual menyerahkan jualan dengan cara mengakhirkannya, dan pembeli menyerahkan
harga pembelian dengan cara mengakhirkannya pula, maka ini termasuk dalam jual
beli Al-Kaali dengan Al-kaali. Sesungguhnya ini jual beli salam
dimana pembeli tidak menyegerakan bayaran. Tetapi menangguhkan pertukaran
padanya. dan inilah yang oleh malikiyyah menamakannya : permulaan utang dengan
utang.
Hanya saja hadits pelarangan jual beli al-kaali bil kaali adalah
hadits yang sanadnya lemah, belum kuat, dan telah bersepakat para ulama ahlul
fiqhi (Al-fuqaha) atas lafadznya, akan tetapi mereka belum bersepakat dengan
maknanya. Sebagian mereka mengatakan : Sesungguhnya jual beli yang mengakhirkan
pertukaran di dalamnya adalah jual beli yang disepakati keharamannya. Dan
sebagian lainnya mengatakan : sungguh yang disepakati keharamannya adalah jual
beli yang tertunda (salam atau nasiiah), adanya pertemuan
tambahan pada waktu yang ditentukan.
Al-hanafiyyah tidak mempersyaratkan pada penjualan seperti ini harus menyegerakan harga
(pembayaran), bagi mereka boleh mengakhirkan pembayaran.
Sebagian ahlul fiqhi (Al-Fuqaha) menyebutkan bahwa akad As-salam,
apabila beraqad dengan lafadz As-salam, atau As-salaf, maka wajib
menyegerakan modal (pembayaran) pada akad tersebut di tempat transaksi, akan
tetapi apabila berakad dengan lafadz Al-bai’ (jual beli) maka tidak
dipersyaratkan pada akad tersebut penyegeraan modal (pembayaran).
Al-malikiyyah membolehkan penundaan modal (pembayaran) pada akad As-salam, untuk
interval waktu tiga hari tapi dengan adanya syarat, dan untuk interval waktu
yang lama dengan tanpa syarat. dan juga membolehkan penyewaan tanah, menerima (mengambil) tanah
tersebut setelah satu tahun, dan membayar sewaan setelah sepuluh tahun.
Sebagaimana argumen yang dikemukakan oleh sebagian Fuqaha tentang
hadits Jabir, bahwa boleh penundaan dua
alat tukar dalam jual beli. Kemudian juga dari jabir, dia pernah menempuh
perjalanan, mengendarai unta miliknya yang sakit (sangat lelah), kemudian ingin
turun dan menenteng untanya, berkata : dan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam menyusulku, kemudian memanggilku, dan memukul untaku, maka tiba-tiba ia
berjalan dengan sehat tidak seperti sebelumnya, lalu bersabda: juallah dia
(unta) kepadaku dengan dua wukiyyah. Aku berkata : Tidak. Kemudian bersabda :
juallah padaku, maka aku menjualnya dua wukiyyah dengan mengecualikan barang
bawaannya, karena itu untuk keperluanku dan keluargaku. Setelah aku sampai
ditujuan, saya membawa unta itu kepada nabi Shallallaahu’alaihi wasallam, dan
beliau menyerahkan harganya, kemudian saya kembali, lalu beliau mengembalikan apa
yang sebelumnya ada padaku seraya bersabda : apakah engkau melihatku sebagai
orang yang mengambil tali kekangan untamu? Ambillah untamu dan juga uangmu,
engkau berhak terhadapnya.[6]
Hasil Konvensi (pertemuan):
Konvensi fiqhi islam pada
daurah yang kedua belas tahun 1421 H (2000 M) dengan perumusan yang dalam menyatakan
bahwa akad At-tauriid apabila kenyataannya, barang dagangan membutuhkan
pembuatan, dan sesungguhnya akad yang meminta pembuatan suatu barang dibolehkan.
Dan apabila kenyataannya, barang dagangan tidak meminta pembuatan (sudah ada),
dan barang tersebut dideskripsikan sesuai dengan realitanya. Maka akad tersebut
adalah akad salam, harus disegerakan pada akad ini harga keseluruhannya.
Dan apabila tidak disegerakan harga barang seluruhnya maka sesungguhnya akad
seperti ini tidak boleh.
[2] Musnad ahmad (3/402 dan 434), sunan abud daud
(3/384), dan Tarmidzi (3/525), dan an-nasai (7/288), dan ibnu majah (2/737).
[3] Fathul bariy oleh Ibnu hajar (4/349)
[4] Zaadul ma’aad oleh Ibnul Qayyim (5/816)
[5] Sunan addaruquthni (3/71), dan
al-mustadrak oleh hakim (2/57)
[6] Sahih muslim (11/30)
0 komentar: