Oleh : Ibn jauzy
Penerjemah : Samsul Basri, S.Si
Kesombongan adalah membesar-besarkan
kedudukan pribadi dan merendahkan orang lain. Dimana kedudukan itu menjadi
sebab kecongkakannya terhadap siapa yang tidak memilikinya. Kedudukan yang
dibanggakan itu bisa berupa keturunan, harta, ilmu, ibadah atau yang lain. Dan
tanda kesombongan adalah al-unfah yaitu congkak dari seseorang yang ia
membanggakan diri atasnya, merasa terhormat, merasa mulia, dan mengharapkan
pujian atau pengagungan manusia terhadapnya.
Pengobatannya dengan dua cara : umum
dan khusus. Adapun pengobatan secara umum terbagi dua yaitu ilmiyyun
(ilmu) dan amaliyyun (amal). Dengan al-ilmiyy maksudnya adalah dengan
dalil-dalil al-sam’iyyah (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan al-aqliyyah
(akal) yaitu mengetahui buruknya atau jeleknya kesombongan. Dan adapun al-amaliyy
yaitu bergaul dengan orang-orang yang tawadhu dan mendengarkan kisah-kisah
orang yang tawadhu.
Adapun pengobatan secara khusus
yaitu dengan melihat kekurangan diri, dan mengetahui sesuatu yang ia berbangga
diri dengannya, sekiranya sesuatu itu berupa harta maka kelak harta itu akan
diambil darinya segera. Kemuliaan itu hanyalah dengan merasa cukup dari sesuatu,
bukan karena keberadaan sesuatu, kebutuhan terhadap sesuatu justru menunjukkan
kefakiran terhadapnya. Sekiranya sebab kebanggaannya berupa ilmu maka telah hidup
banyak manusia sebelumnya yang jauh lebih berilmu darinya, kemudian ilmu mereka
justru mencegah mereka berlaku sombong. Bila ilmu tetap disombongkan maka akan
menjadi laknat atas pemiliknya. Demikian pula jika sebab kesombongannya berupa
perbuatan atau amalan yang dilihatnya sempurna, maka setiap perbuatan kalau
dilihat dengan mata penuh ketelitian pasti ada kekurangan.
Disebutkan sanadnya sampai kepada
Abu Salamah, dia berkata : Abdullah bin Amru dan Ibn Umar bertemu di marwah,
masing-masing turun dari kendaraannya, beberapa saat kemudian Abdullah bin Amru
pergi, tinggallah Ibnu Umar yang sedang duduk sambil menangis. Ditanyakan
padanya, “Maa yubkiika?” apa yang membuat anda menangis?, ia pun
menjawab “dia” (maksudnya Abdullah bin Amru yang membuatnya menangis), dia
mengatakan bahwa dirinya mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda : ((barang siapa di dalam hatinya kesombongan seberat biji sawi,
maka Allah akan menyungkurkan wajahnya di dalam neraka)).[1]
Dan dengan sanadnya yang sampai
kepada Iyas bin Salamah, dari ayahnya berkata: bersabda Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam : ((masih saja seseorang menyombongkan dirinya sendiri sampai ditulis di sisi Allah sebagai
orang-orang yang sombong hingga ditimpakan kepadanya musibah sebagaimana
musibah yang menimpa mereka)).[2]
Dan dari jalan Muslim sendiri dari
hadits Ibnu Mas’ud, dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya beliau
bersabda : ((tidak akan masuk surga siapa yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan seberat dzarrah (atom)). Kemudiaan seseorang berkata :
“sesungguhnya seseorang suka mengenakan pakaian yang bagus dan sendal yang
bagus”. Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : ((ssungguhnya Allah
Mahaindah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah batharu al-haq wa
ghamthu an-naas menolak kebenaran dan merendahkan manusia))[3]
Dan pada kesendiriannya dari hadits
Al-Aghar dari Abu Huraerah dan Abu sa’id keduanya berkata : Rasulullah
Shallallaahu “Alaihi Wasallam bersabda : ((Allah Azza Wa Jalla berqalam : al-‘izzu
(keagungan) adalah sarungku dan al-kibriyaau (kesombongan) adalah
selendangku maka barang siapa mengambil keduanya dari-Ku Aku pasti
mengazabnya)).[4]
Berkata Al-khaththaabiy : “dan makna
dari hadits ini bahwasanya kesombongan dan keagungan adalah dua sifat Allah
yang Allah khususkan diri-Nya dengan keduanya, tidak boleh seseorang
menyekutukan Allah pada keduanya, dan tidak pantas bagi makhluk saling berbagi
dengan keduanya, sungguh sifat makhluk itu adalah tawadhu dan rendah diri. Dan
sebagai permisalan mengenai selendang dan sarung ini wallaahu a’lam sebagaimana
seseorang tidak mau bersekutu pada sarung dan selendangnya dan karena itulah
Allah Azza Wa Jalla melarang makhluk menyekutukannya dalam kesombongan dan
keagungan.
Referensi : Al-Aththibbu Ar-Ruhaniy
Bab keempat belas : Fii Daf’i Al-Kibri
Penulis : Ibnu Jauzy
[1] Dikeluarkan oleh Al-baihaqi 191/10. Dan
Al-Haitsami menguatkan fil mujma’ 98/1 milik Athabraniy fil kabiiri
dan Ahmad dan Al-Haitsami mengatakan : para perawinya adalah terpercaya.
[2] Dikeluarkan oleh At-Tarmidzi (2000) dan
Al-Baghawiy fi syarhi as-sunnah 167/13 wa Ad-dailamiy (7576)
dan
al-hadits pada sanadnya ada ‘umar bin Rasyid
adalah lemah.
[3] Dikeluarkan oleh Muslim 93/1.
[4] Dikeluarkan oleh Muslim Albirru
wa al-Shilah (136) dengan lafadz Al-‘izzu izaaruhu wal kibriyaau
ridaauhu wa faman yunaaziunii azzabtuhu.
0 komentar: