By : Samsul Basri, S.Si
Pada
suatu hari di negeri yang tak berpeta, seorang ustadz melangkah mendekati sebuah
tempat yang di atas pintunya sebuah tripleks bertuliskan pangkas rambut Madura.
Ia pun masuk setelah berucap salam dan langsung mengambil posisi duduk di depan
cermin. Seseorang yang berprofesi tukang
cukur datang dengan sehelai kain lebar dalam pegangannya. Kain pun
dikibas-kibasnya dua kali, lalu dibiarkan membalut tubuh ust yang hanya diam
membisu tak berdaya dan tanpa perlawanan sama sekali. Dalam kepasrahan ia
berucap seolah kalimat teakhir tersunggig di bibirnya, “saya mau mau dicukur
begini dan begitu”. Hanya anggukan dan senyum sekali yang didapatkan dari
laki-laki yang kini berdiri dekat di belakangnya. Gunting dan sebuah sisir
hitam bergoyang dan bermain di atas kepala sang ustads lewat tarian tangan
lihai tukang cukur yang sepertinya sudah sangat senior. Rambut demi rambut berjatuhan
tak beraturan meninggalkan kepala sebagai kampung halaman merantau dan tidak akan
pernah lagi kembali.
Tiba-tiba
saja tukang cukur angkat suara memecah keheningan, ia melontarkan sebuah statment
kepada Ustads yang sedari tadi dilihatnya berdzikir dan beristigfar. Bagi sang ustads
dzikir dan Istigfar merupakan amalan yang ringan di bibir namun timbangan di
mizan Allah sangatlah berat. Ia tak ingin waktu berlalu, pergi meninggalkannya
tanpa makna. Baginya mengukir prestasi di sisi Allah atas nikmat waktu yang diberikan-Nya
adalah tujuan yang harus, selagi ruh bersemayam di badan. “Stads, Tuhan itu
nggak ada”. Langsung saja sang Ustads tersentak kaget dengan pernyataan itu. Ia
menoleh ke belakang melihat wajah sumeber suara itu, namun ia berusaha
mengendalikan diri seraya menggali apa yang melatari argumen itu mengucur begitu
mudahnya dari bibir seorang tukang cukur yang dari wajahnya kelihatan polos dan
lugu. Ia tersenyum sebentar, menarik napas secara perlahan lalu mulai angkat bicara,
“Kenapa anda mengatakan Tuhan itu tidak ada?”. Dengan berapi-api ia menimpali, “oh
iyya emang tuhan itu nggak ada, buktinya kenapa masih banyak orang melakukan
kejahatan?!!”, ia diam sejenak lalu melanjutkan, “nah karena masih banyak yang
melakukan kejahatan berarti Tuhan itu tidak ada”. Sang Ustads tetap tersenyum
ramah, ia teringat sebuah syair arab lisaanul fatah nishfun wa nishfun
fuaaduhu walam yabqa illa shurati al-lahmi wa ad-dami yang artinya bahwa lisan
seorang pemuda itu adalah setengah dan setengah lagi hatinya, selebihnya tidak
lagi tersisa melainkan bentukan daging dan darah. Maksudnya bahwa nilai
seseorang itu pada lisan dan hatinya, bila kedua ini tidak ada maka yang
tersisa padanya hanyalah kumpulan daging dan darah. Begitulah ia menilai tukang
cukur ini. Ia hanyalah satu dari sekian banyak manusia yang perlu mendapatkan
pencerahan Islam lewat dakwah dan tarbyah. Belum tentu ia bodoh, mungkin saja
ia belum mengenal yang benar. Kata salah seorang syaikh, “Almusykilah ‘indamaa
laa ta’rifu ath-thariiqah” masalah itu adalah ketika anda tidak mengetahui
solusinya.
Dengan
penuh ketenangan, sang Ustads mengangkat statment baru yang cukup mengusik
emosi tukang cukur. Ia berkata, “Tidak ada tukang cukur di dunia?”. Tukang cukur
keheranan, “apa maksud anda?!, saya ini kan tukang cukur. Kenapa anda berkata
demikian?!”. Senyum kemenangan tergambar di bibir sang Ustads, “Kalau memang
ada tukang cukur, kenapa masih banyak pria gondrong berkeliaran di luar???”. Hampir
secara bersamaan mereka berdua tertawa “Ha..ha...ha...”.
“Tapi
stads, itu karena mereka yang nggak mau datang ke tukang cukur, makanya pria
gondrong berkeliaran” potongnya tiba-tiba. Kata Ustads kemudian, “nah, banyak
orang maksiat bukan berarti Tuhan itu nggak ada, tetapi mereka yang tidak mau datang
kepada Tuhan yaitu Allah untuk taubat dan ibadah”. “mau ketemu Tuhan nggak?”
tanya sang ustads. “wah, mau banget tads... caranya???”.
“Gampang, karena Allah yang memberitahukan caranya.
Ia berkalam: faman kana yarjuu liqaa Rabbihi fal ya’mal ‘amalan shalihan wala
yusyrik bi ‘ibadati rabbihi ahadan maksudnya ... Siapa yang mengharap pertemuan
dengan Tuhannya yaitu Allah, maka hendaknya dia melakukan amal yang shalih di
dunia dan berjuang agar tidak terjatuh pada kesyirikan yaitu menduakan Allah
dengan yang lain. ... ini tedapat di surah kahfi ayat 110.”
“Saya mau Ustads, tolong dong... bantu cara
melakukan yang shalih-shalih itu!”
He...he... “Nikmatnya makan ketika lapar,
nikmatnya minum ketika haus dan nikmatnya sukses ketika ada perjuangan dan
pengorbanan. Jadi... anda harus ikut tarbyah Islamyah. Saya catat nomor HaPe
anda nanti saya hubungi mengenai waktunya”
“oke ustads... makasih banyak. Saya tunggu. ini
no hape saya kosong delapan lima empat...”.
Ustads
mencatat no HaPe tukang cukur di buku agenda kecilnya, merasa beryukur kepada
Allah atas pertemuan dan dialog yang tak terduga itu, terutama hidayah Allah
yang teramat mahal tapi diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan setelah
proses cukur selesai, ia menyerahkan uang sejumlah 15.000 rupiah sebagai upah
kepada tukang cukur. Mereka berjabat tangan lalu berpisah, “Assalamu ‘alaikum”
doa sang Ustads menutup pertemuan. “Wa’alaikum salam stads” jawab situkang
cukur denga ekspresi wajah cerah ceriah. Dalam hati, Ustadz berkata :
Hidayah itu teramat mahal di dunia,
Takkan pernah terbeli dengan harta dunia dan seisinya.
Iblis mengorbankn diri menjadi penghuni neraka,
Bahkan rela kekal di dalamnya,
Asal bisa mencuri dan mencabut hidayah dari hati manusia.
Bila anda beruntung mendapat hidayah Allah,
Jangan ia lepas atau hilang karena fitnah.
Karena itulah sebesar-besar musibah.
0 komentar: