Muhasabah

 By : Ibnu Hasan

Download tulisan ini "klik" BISMILLAH




“Ya Rabbi !, Engkau lebih mengenal hamba ketimbang hamba yang mengenal diri sendiri. Hamba begitu sering menampakkan ketegaran di hadapan mahlukMu yang juga saudara hamba dalam se Iman. Seakan diri ini teramat bijak menyikapi masalah. Ketika datang saudara-saudaraku itu dengan wajah kusam bagai kain kusut yang dilemparkan kemukanya. Pertanda masalah tengah menghimpitnya dan menggorogoti semangatnya. Dengan izinMu aku bertanya pada mereka itu”.
“Mengapa wajahmu kusut ya akhi ???!!!. Masalah apa gerangan yang engkau hadapi ?? hingga engkau seakan lupa kalau kamu punya teman dan sahabat yang akan selalu bisa membantu memikulkan masalah di pundakmu. Atauuu mengapa pula engkau seakan lupa kalau Allah itu ada, dan akan selalu mengawasi dan memberi jalan keluar bagi hamba yang mau curhat pada-Nya.”
Ia pun mengutarakan masalahnya, dan aku menjadi pendengar setianya. Cukup sudah. cukup sudah kita menderita dengan menanggung dan memikul masalah itu. jangan menambah penderitaan dengan menyimpannya sendiri. Hingga apabila masalah itu telah menjelma jadi kata yang mengganjal hati, telah habis keluar dari lisannya. Bahkan tidak sedikit dari mata mereka menetes air yang teramat bening, ada yang sampai menganak sungai membelah pipinya. Menggambarkan beratnya masalah yang dihadapinya. Aku pun segera beristighfar, membaca basmalah dan mulai memberinya nasehat,
Saudaraku. Hapuslah air mata dukamu. Lihatlah cermin !, tidakkah engkau akan mendapat pelajaran darinya ?. Semakin jelas dan jernih cermin itu, semakin jelas pula bayangan objek yang ada di hadapannya. Allah tidak ditanya tentang apa yang dikehendaki-Nya tapi manusia-lah yang ditanya tentang apa yang diperbuatnya. Kita sering diperhadapkan pada banyak persoalan yang seakan beban terus menindis tanpa ada solusi. Boleh jadi hati kita-lah yang keruh hingga begitu banyak nikmat yang mesti disyukuri namun kita lalai darinya bahkan lupa kepada siapa yang menciptakan kita. Tak heran bila hidup itu sendiri malah jadi beban. Cobalah introspeksi diri akhi !. Banyaklah bermuhasabah, berdzikir dan berdoa pada-Nya !. InsyaAllah kebeningan hati dan kejernihan pikiran akan engkau rasakan bagai kegembiraan sang musafir yang berjalan tertatih-tatih hampir mati kehausan tiba-tiba menemukan danau yang tenang, jernih dan sekitarnya rimbun pepohonan. ”
aku diam sesaat. Kutatap lekat-lekat wajah saudaraku yang tampaknya telah tersugesti dengan kalimat yang kuutarakan. Kemudian kutambahkan,
“Dengan Muhasabah, hatimu bening dan pikiranmu jernih. Hal itu berdampak pada pengetahuan yang jelas tentang siapa dirimu sebenarnya ?. Kelebihan apa yang Allah titipkan padamu ?. Engkau tidak akan lagi merasa bagai jiwa yang terbuang. Kekurangan yang selama ini menghantui, melekat dan menjelma dalam bentuk kegagalan yang kau rasakan. Darimana sumber kegagalan itu ?. Engkau tidak lagi ambil peduli. Jangankan mengenalnya memimpikannya pun engkau takkan sudi. Karena kini engkau memahami bahwa dalam hidup ini masih banyak hal yang harus disyukuri ketimbang menangisi dan menghukum diri karena suatu kegagalan yang sebenarnya justru memperlihatkan kelemahan yang harus kau benahi. Ketahuilah akhi hanya dengan mengenal-Nya, mengenal Allah engkau akan mengenal dirimu……siapa……darimana……dan mau kemana……”
Ya Rabbi !, aku tersenyum. Senyum yang kuberikan padanya. Pada saudaraku itu, adalah wujud kecintaan dan kasih sayangku yang menerima keberadaannya. Aku berharap walau hanya dengan seulas senyum kegembiraan, duka hatinya sedikit terobati. Bukankah rasulMu yang mulia mengingatkan dan menganjurkan pada umatnya dalam sabdanya,
“Janganlah meremehkan kebaikan yang sekecil-kecilnya, walaupun hanya seulas senyum kegembiraan yang kamu berikan bagi saudaraMu”.
Tapi mengapa Ya Rabb-ku !. Mengapa hamba tak setegar apa yang hamba katakan ?. rasa kecewa dan putus asa juga terkadang memenuhi rongga-ronggaku atas beberapa persoalan yang tak mampu hamba hadapi. Bukan tak mampu. Sebenarnya mampu, karena Engkau tidak Dzalim dan telah menakar tingkat kesukaran yang akan dihadapi Hamba-Mu sebelum Engkau berikan padanya. Lebih karena aku-lah yang tak kuasa melihat hikmah dibalik persoalan itu atau lebih tepat aku tak bisa sabar dengan masalah itu. “Ampuni hamba Ya Rabb !”, aku takut akan ancamanMu bahwa amat besar kebencianMu pada kami (manusia) atas apa yang kami katakan namun kami sendiri tidak mengamalkannya.
“ Ya Rabbi !”, atas izin dan kehendakMu pulalah hamba dapat meringankan beban ekonomi saudara Muslimku. Menyedekahkan sebagian apa yang engkau titipkan berupa harta untuk kemajuan agama-Mu yang lurus (Islam­). Dan masih ada yang hamba pinta dari-Mu dan juga sebagai nikmat dari-Mu.
“Hamba berhajat padaMu akan urusan dunia namun jangan engkau jadikan hamba cinta dengan dunia”.
“Ya Rabbi !”, begitu banyak dari kalangan anak-anak, muda dan juga dewasa yang mengenal hamba. Mengenal potensi yang Engkau hiaskan pada diri ini. “Aku takut Ya Rabb !” takut kalau-kalau ketenaran yang kurasakan ini menjadi sebab bibit Riya’, ujub dan kesombongan tumbuh subur dan berkembang …… dan bibit-bibit itu sering kurasakan muncul satu-satu. “Ya Allah!” jika bukan karena nikmat dan pertolongan dariMu niscaya hamba berada dalam kebodohan dan ketenangan yang menipu.
“Ya Rabb !”, seperti yang telah hamba utarakan dan Engkau jauh lebih mengetahuinya. Keberadaan orang-orang yang sering ku temui disekitar hanya mampu melihat dengan mata kasaranya dan menilai objek di depannya sebatas lahiriahnya saja. Sebagian mereka yang telah mengenal diri ini. Mengenal sedikit potensi-potensi yang Engkau titipkan. Berharap sepertiku bahkan lebih baik dariku. Bila harapan itu terasa sulit bagi mereka, jadilah mereka hanya dapat memuji orang lain……dan memuji diri ini. Pada hal sekali lagi, mereka hanya menilai dari satu sisi saja. Aku bukannya bersyukur ada sebagian dari kalangan hambaMu yang justru membenci diri ini. Menampakkah sikap tak bersahabat padaku. Tapi keberadan mereka semakin memperjelas kekurangan yang ada padaku. Mereka tidak berkata padaku selain kejelekan yang aku perbuat dan aku pun dapat dengan segera memperbaikinya. Hal itu tidak aku dapati pada mereka yang ku anggap sebagai teman. Teman hanya berbicara dan menilai yang baik dariku hingga aku pun bisa terlena dengan pujiannya bahkan jatuh dalam kesombongan dan lupa padaMu.
“Ya Rabb!”, aku tak ingin seperti lilin yang begitu besar sumbangsi tenaga dan pikiran guna menerangi kegelapan disekitarnya namun ia tak mau peduli dengan kebinasaan yang bakal didapatinya. Begitu banyak contoh dari hambaMu yang menghabiskan energi, tenaga dan pikiran demi menampakkkan kepedulian pada lingkungan sekitarnya namun ia melupakan dan tak mau memikirkan kekacauan di dalam hatinya yang mungkin sudah sakarat karena ada penyakit yang menghinggapinya atau lebih karena jauh dari berdzikir padaMu.
“Ya Rabb !”, hamba tak tahu apakah diri ini termasuk hati yang berdusta ataukah tidak. Aku berharap tidak. Hamba teramat benci melihat laki-laki dengan lawan jenisnya berikhtilat. Tapi ikhtilat juga kadang mewarnai hari-hari hamba di kampus. Dalam doa yang sering hamba panjatkan. Hamba meminta kiranya Engkau memberikan kesuksesan di dunia dan terutama di akhirat yang tak lagi berujung.
Betapa sering mata ini melihat apa yang bukan haknya. Hari ini Hamba bertaubat dari kebiasaan itu. Tapi bila Engkau perkenankan esok hari datang menyapa, mata ini seakan lupa atas apa yang kemarin disesalinya dan bertaubat darinya. Bukan. Bukan mata yang salah. Ia hanya melaksanakan apa yang diperintah oleh otak. Dan otak juga tidak layak disalahkan karena ia hanya memproses apa yang ada di dalam hasrat. Hasrat pun tak bisa di kambing hitamkan karena keberadaannya sangat ditentukan oleh apa yang berdomesili di Hati. Bila hati dipenuhi kebaikan tentu hasratnya baik. Hasrat yang baik akan menyampaikan sinyal kebaikan dan diteruskan oleh saraf-saraf sensorik hingga di seleksi dalam otak. Otak pun akan memprosesnya dan mengolahnya menjadi sebuah kekuatan. Kemudian otak dengan kekuatan itu akan memerintahkan pada tangan untuk memegang, telinga untuk mendengar dan mata untuk melihat apa yang ada di dalam hasrat tadi. Tak salah bila Engkau yang maha Alim tidak menilai manusia dari lahirianya melainkan apa yang ada di dalam hatinya. Tapi “Ya Rabb!”, Ampuni bila hati ini termasuk berdusta, dan terangilah dengan cahayaMu.
“Ya Rabb !”, beri hamba kesempatan untuk dapat bermanfaat bagi orang lain sebelum ruh Engkau pisahkan dari badan ini. Bukankah Engkau mencintai hambaMu yang banyak bermanfaat untuk orang lain. Hamba ingin membantu. Membantu meringankan beban saudaraku namun hamba tak tahu dari mana memulainya. Tuntunlah daku dan bimbinglah dalam kebaikan yang Engkau ridho. “Aku yakin padaMu ya Rabb!”, Engkau punya cara sendiri yang penuh hikmah dalam membantu dan menolong hambaMu yang susah. “Hanya Engkau yaa Rabb !”, Engkau yang mampu menghapus gundah gulana seluruh mahlukMu. Hamba yang tak dapat berbuat banyak untuk orang lain hanya bisa melakukan sebatas apa yang dengannya engkau beri kesanggupan, selebihnya ku serahkan padaMu.
Mudahkan lah urusan hamba-hambaMu yang tengah berjuang meninggikan asmaMu yang Maha Mulia. Jadikan kesabaran sebagai pakaian yang menyelimuti mereka dari panas dan dinginnya masalah-masalah. Jangan Engkau jadikan hati kami lalai bermaksiat setelah Engkau memberi petunjuk.
Jadikan ikhtiar dan tawakkal sebagai senjata dalam menapak
kerasnya bumi ini.
Dan hiburlah hati kami dengan keikhlasan
merindukan pahala dan kecintaan dariMu.
Engkaulah Tuhan Rabbul Aa’lamin”.


0 komentar: