Menolak Sedih Berlebihan




Oleh : Ibn jauzy
Penerjemah : Samsul Basri, S.Si
Ketahuilah bahwasanya orang yang berakal, tidak akan pernah kosong dari kesedihan. Ia bersedih atas dosa yang diperbuatnya di masa lalu karena lalai, dan sedih atas nasehat para ulama dan orang-orang shalih yang berlalu begitu saja tanpa mampu ia aplikasikan. Dalam konteks demikian sebuah sanad yang sampai kepada Malik bin Dinar, ia berkata :
إن القلب إذا لم يكن فيه حزن خرب, كما أن البيت إذا لم يسكن خرب
“Sesungguhnya hati yang tidak ada padanya kesedihan maka ia telah mati, sebagaimana rumah yang tidak berpenghuni akan hancur[1]
Juga sebagaimana sanad yang sampai kepada Ibrahim bin Isa[2] , beliau berkata :
ما رأيت أطول حزنا من الحسن وما رأيته قط إلا حسبته حديث عهد بمصيبة
“Aku tidak menemukan orang yang paling banyak bersedih melebihi Hasan Al-Bashri, dan tidaklah aku melihatnya (karena kesedihannya itu) kecuali akan menyangka ia baru saja ditimpa musibah”
Malik bin Dinar menjelaskan bahwa  seberapa besar kesedihan yang ditumpahkan karena dunia, sebesar itu pulalah kepentingan akhirat  akan keluar dari hati.
Kesedihan selalu dan akan selalu mengiringi hati orang-orang yang bertakwa, maka hendaklah seseorang menjauhi kesedihan yang berlebih-lebihan. Kesedihan tidak muncul kecuali atas sesuatu yang telah hilang. Dan sesuatu yang telah hilang, selalu ada jalan untuk mendapatkannya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
بقية عمر المؤمن لا قيمة له يستدرك فيه ما فات
"Sisa umur seorang mukmin tidak akan memiliki nilai dan arti, apabila obsesi yang ada padanya adalah mengejar sesuatu yang hilang, tidak abadi (fana)”
Sekiranya yang disedihkan itu adalah sesuatu yang tidak akan mungkin didapatkan kembali maka kesedihan karenanya adalah percuma, dengan kata lain tidak memberi manfaat.
Sekiranya kesedihan berupa utang yang harus dilunasi, maka hendaknya ia mengimbanginya dengan sifat raja’ (penuh harap) kepada pemilik kemuliaan yaitu Allah Ar-Rahman supaya jiwanya tetap stabil.
Akan tetapi, sekiranya kesedihan disebabkan karena dunia dan apa yang hilang darinya, maka kesedihan seperti ini adalah kesengsaraan yang sebenar-benarnya. Selayaknyalah orang yang berakal menolak kesedihan seperti ini ada pada dirinya.
Sebaik-baik terapi menolak kesedihan atas dunia dan apa yang hilang darinya adalah dengan menyadari bahwa kesedihan itu tidak bisa mengembalikan apa yang hilang, bahkan hanya menambah musibah baru baginya. Dan akhirnya musibah yang menimpanya pun menjadi dua (musibah berupa kehilangan dan musibah yang muncul akibat kesedihan). Namanya musibah, bagaimanapun wujudnya harus dianggap ringan di hati dan dibuang jauh-jauh. Mengambil pakaian kesedihan atas musibah yang mendera hanya menjadikan beban hidup kian bertambah.
Ibnu Amru berkata,
إذا استأثر الله بشيء فاله عنه ثم في الخلف عن الفائت ما يسلى
“Apabila Allah memberikan seseorang sesuatu yang sangat berharga lalu hilang darinya, maka dibalik sesuatu yang hilang itu ada penawar (penghibur)”
Bahkan kalupun penawar itu tidak ditemukan atau memang tidak ada, maka hendaknya seseorang yang tertimpa musibah bersungguh-sungguh untuk mengeluarkan atau menjauhkan kesedihan dari hatinya. Dan mengetahui bahwa hawa nafsulah yang mengundang kesedihan itu, bukan akal. Karena akal tidak akan menggiring kepada apa yang tidak bermanfaat. Dan hendaklah ia beroptimis bahwa kegembiraan segera datang. Tetap fokus, sungguh-sungguh dengan apa yang ada dibalik musibah itu. Dan tetap rileks ketika berada pada masa transisi atau masa antara musibah dan kegembiraan.
Dan diantara perkara yang ampuh menghapus kesedihan adalah ilmu, bahwa kesedihan atas dunia dan apa yang hilang darinya tidak bermanfaat. Kemudian iman kepada Allah yang akan membuahkan pahala. Dan selalu ingat kepada orang yang ditimpa musibah lebih banyak dari musibah yang menimpanya.
Referensi : Al-Aththibbu Ar-Ruhaniy
Bab kedelapan belas : Fii Daf’i Fudhuuli al-Huzni
Penulis : Ibnu Jauzy


[1]  Abu Nu’aim, Al-Hilyah (2/360) dari Malik bin dinar dengan lafadz :
إذا لم يكن في القلب حزن خرب, كما إذا لم يكن في البيت ساكن يخرب.
[2]  Abu Nu’aim, Al-Hilyah (10/393). Abu Nu’aim menyebutkan bahwa Ibrahim bin Isa adalah orang yang sangat zuhud.

0 komentar: