Panduan Bulan Suci Ramadhan Berdasarkan Surat AL-Baqarah Ayat 183 s.d 187

Oleh : Samsul Basri, S.Si
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 183
Allah Azza Wa Jalla  berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 183-184)
Allah b menyerukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa. Puasa artinya adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena Allah. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela.[1] Karena itulah menurut syaikh Abdul Aziz As-Sadhan, bagi yang tidak meninggalkan kemaksiatan di bulan ramadhan berarti telah menodai puasanya dan menyia-nyiakan pahala yang banyak.[2] Rasulullah g bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرَ وَ العَمَلَ بِهِ, فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah dalam diri orang yang meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Dalam menafsirkan potongan ayat (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) Hai orang-orang yang beriman”, As-Sa’di menjelaskan bahwa apabila di dalam Al-Qur’an terdapat seruan (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) pasti akan  selalu berisi perintah setelahnya “Lakukan ini”, atau larangan dari mengerjakan sesuatu “tinggalkan ini”. Hal ini adalah bukti bahwa iman merupakan sebab yang mendorong dan menggerakkan serta menjadi alasan kuat terlaksananya suatu perintah atau ditinggalkannya suatu larangan. Karena iman merupakan pembenaran sempurna terhadap apa yang wajib untuk dibenarkan dengan iman dan penguat terhadap sesuatu untuk dilakukan oleh anggota badan.[3]
Setelah potongan ayat (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) sebagaimana penjelasan As-Sa’di di atas, berisi perintah (كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”, yaitu para nabi, dan kaum-kaum keturunan Nabi Adam a.s.[4] Karena itulah pada permulaan Islam, puasa dilakukan tiga hari setiap bulan karena sejak Nabi Nuh a.s puasa yang disyariatkan adalah tiga hari setiap bulan. Lalu ketentuan itu dinasakh (dihapus) dengan puasa satu bulan penuh, yaitu pada bulan ramadhan.[5]
As-Sa’di berkata, hikmah kewajiban berpuasa bagi yang berpuasa adalah (لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ) Agar kamu bertakwa” karena sesungguhnya puasa merupakan salahsatu dari sebab-sebab utama yang bisa mendatangkan ketakwaan kepada Allah. Dan karena dalam berpuasa ada aplikasi ketaatan kepada Allah sekaligus meninggalkan apa yang dilarang-Nya.[6]
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 184
Allah Azza Wa Jalla  berfirman,
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 183-184)
Selanjutnya Allah menjelaskan hukum puasa yang berlaku pada permulaan Islam sebagimana firmann-Nya, (فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Artinya, orang sakit dan orang yang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena hal itu merupakan kesulitan bagi mereka. Sehingga mereka boleh tidak berpuasa tapi harus mengqadhanya pada hari-hari yang lain.[7]
 (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ) “dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas dalam tafsir Ibnu Katsir, adapun orang yang sehat dan tidak berpergian tetapi merasa berat berpuasa, baginya ada dua pilihan; berpuasa atau memberikan makan. Jika mau, ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka tetapi harus memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia memberikan makan lebih dari seorang pada setiap harinya, maka yang demikian itu lebih baik. Dan berpuasa adalah lebih baik daripada memberi makan.[8]
Termaksud dalam penjelasan ayat ini (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ) adalah bahwa orang tua renta yang tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, maka boleh baginya berbuka (tidak puasa) dan tidak perlu mengqadha’nya, karena ia tidak akan mengalami lagi keadaan yang memungkinkannya untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya itu. Tetapi, apakah jika ia berbuka (tidak berpuasa) tetap berkewajiban memeberi makan setiap hari orang miskin, jika ia kaya?
Ibnu Katsir menjelaskan, mengenai hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan tidak ada kewajiban baginya memberikan makan kepada orang miskin, karena usianya yang memang mengharuskan ia tidak sanggup memenuhinya, sehingga tidak ada kewajiban fidyah padanya. Seperti halnya bayi, karena Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i. Pendapat kedua dan merupakan pendapat yang sahih dan yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahwa wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama salaf lainnya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh imam al-Bukhari, ia mengatakan mengenai orang yang sudah tua jika ia tidak mampu menjalankan puasa, maka ia harus membayar fidyah.[9]
Bagaimana dengan wanita hamil dan yang menyusui jika keduanya mengkhawatirkan keselamatan diri dan anak mereka. Dalam masalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa keduanya (wanita hamil dan menyusui) boleh tidak berpuasa, tetapi membayar fidyah dan mengqadha’ puasanya. Dan ada pula yang mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha’.[10]
Ada juga yang berpendapat, wanita hamil dan menyusui berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Tetapi ada juga yang berpendapat kedua wanita itu boleh berbuka dengan tanpa membayar fidyah dan tidak juga mengqadha’nya.[11]
Syaikh Muhammad bin shalih al-Utsaimin menjelaskan bahwa tidak halal bagi wanita yang hamil atau menyusui untuk tidak syiam pada bulan Ramadhan kecuali karena ‘udzur. Maka jika keduanya tidak shiyam disebabkan ‘udzur maka wajib atas mereka untuk mengqadha’ shiyam, berdasarkan firman Allah Ta’ala (فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) “Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Dan kondisi kedua golongan wanita tersebut seperti orang sakit.[12]
 Jika udzur keduanya adalah karena takut akan membahayakan kepada bayi (jika mereka tetap berpuasa) maka wajib atas keduanya disamping mengqadha’ juga memberi makan satu orang miskin setiap harinya, berupa gandum, beras, kurma, atau yang lainnya dari makanan pokok. Dan sebagian ulama berpendapat diantaranya adalah pendapat Imam Abu Hanifah bahwa tidak wajib atas mereka berdua kecuali hanya mengqadha’ saja, sebab tentang wajibnya memberi makan untuk satu orang miskin tidak ada dalilnya baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah.[13] Dan bagi Ibnu Utsaimin dan Tim Fatwah Al-Lajnah Ad-Daimah pendapat Imam Abu Hanifah adalah pendapat yang kuat.
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat 185
Selanjutnnya firman Allah,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 185)
Diantara keistimewaan bulan ramadhan adalah Allah telah memilihnya dan menurunkan Al-Qur’an pada bulan tersebut. Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus, dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, dan hal itu terjadi pada bulan ramadhan pada malam lailatul qadar sebagaimana firman-Nya di surat al-qadar ayat 1 dan surat ad-dukhan ayat 3. Kemudian setelah itu, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan peristiwa yang terjadi.[14]
Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi hati para hamba yang beriman, membenarkan dan mengikutinya. Juga berisi dalil dan hujjah yang nyata jelas bagi orang yang memahami dan memperhatikannya. Hal ini menunjukkan kebenaran ajaran AL-Qur’an sebagai petunjuk yang menentang kesesatan dan bimbingan yang melawan penyimpangan, serta pembeda antara yang hak dan yang bathil, yang halal dan yang haram.
Pada firman Allah, (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ) “Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Ini merupakan kewajiban yang bersifat pasti bagi orang yang menyaksikan permulaan bulan ramadhan, artinya bermukim di tempat tinggalnya (tidak melakukan perjalanan jauh) ketika masuk bulan ramadhan, sedangkan ia benar-benar dalam keadaan sehat fisik, maka ia harus berpuasa. Ayat ini menasakh (menghapus) hukum dibolehkannya orang yang sehat yang berada di tempat tinggalnya untuk tidak berpuasa dengan mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan fidyah berupa pemberian makan kepada orang miskin untuk setiap hari ia berbuka.[15]
Dan tatkala menutup masalah puasa, Allah kembali menyebutkan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sakit dan bagi yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa dengan syarat harus mengqadha’nya. Dia berfirman (وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) “dan siapa saja yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” Maksudnya, barang siapa yang fisiknya sakit hingga menyebabkannya merasa berat jika berpuasa, atau sedang dalam perjalanan, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa). Jika berbuka, maka ia harus menggantinya pada hari-hari yang lain  sejumlah yang ditinggalkan.[16] Ini merupakan kemudahan, perhatian, rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi mereka, sebagaimana firman-Nya (يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ) “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”
Berdasarkan ayat ini, terdapat beberapa permasalahan :
Pertama, manakah yang lebih utama bagi seorang muslim ketika berpergian (safar), tetap berpuasa ataukah berbuka.
Dalam sunnah telah ditegaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar pada bulan ramadhan untuk perang pembebasan kota makkah. Beliau berjalan hingga sampai di al-Kadid, lalu beliau berbuka dan menyuruh orang-orang untuk berbuka. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih. Karena itulah sebagian dari kalangan Sahabat dan Tabi’in mewajibkan berbuka ketika dalam perjalanan. Hal ini didasarkan pada firman Allah (فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” [17]
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ada diantara ulama berpendapat, berbuka puasa ketika dalam perjalanan bukan wajib, tetapi lebih afdhal, sebagai realisasi rukhsah.  Dasarnya adalah hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya mengenai puasa dalam perjalanan (safar) beliau pun menjawab,
مَنْ أفْطَرَ فَحَسَنٌ, وَمَنْ صَامَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ  
“Barang siapa yang berbuka, telah berbuat baik. Dan barang siapa tetap berpuasa, maka tiada dosa baginya.” (HR. Muslim)
Diantara Ulama semisal Imam Asy-Syafi’i justru berpendapat sebaliknya bahwa puasa ketika dalam perjalanan itu lebih afdhal daripada berbuka. Dasarnya adalah seperti yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, diriwayatkan dari Abu Darda’dalam kitab as-shahihain :
خرجنا مع رسول الله صلى لله عليه وسلم في شهر رمضان في حر شديد, حتى إن كان أحدنا ليضع يده على رأسه من شدة الحر, وما فينا صائم إلا رسول الله صلى لله عليه وسلم وعبد الله بن رواحة
“Kami pernah berpergian bersama dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan ramadhanketika musim panas sekali, sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat menyengat. Tidak ada diantara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara ulama yang lain memilih jalan tengah dengan berpendapat bahwa keduanya sama saja karena Hamzah bin ‘Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengenai perihalnya yang selalau bersafar, manakah yang lebih baik baginya berpuasa ataukah berbuka. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika engkau mau berpuasalah, dan jika mau berbukalah.”[18]
Adapun jumhur ulama, menyatakan bahwa berpuasa ataukah berbuka ketika safar bersifat pilihan dan bukan keharusan. Yang terbaik adalah hendaknya berdasarkan kesanggupan. Bila mampu ia berpuasa dan bila tidak ia berbuka. karena Abu Sa’id al-Khudri menceritakan ketika mereka pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan ramadhan, diantara mereka ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa demikian pula sebaliknya.[19]
Kedua, mengenai masalah qadha’ puasa, apakah harus dilakukan secara berturut-turut atau boleh berselang-seling ?
Ibnu Katsir dalam menafsirkan potongan ayat (فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ) “Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” menjelaskan, menurut pendapat jumhur ulama Salaf dan Khalaf tidak harus berturut-turut, jika menghendaki boleh berselang seling dan juga boleh secara berturut-turut.[20] Karena itulah Allah berfirman, (يُرِيدُاللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّة) “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya.” Dan perintah untuk mengqadha’ puasa itu dimaksudkan untuk menggenapkan bilangan puasa menjadi sebulan.
Firman Allah (وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّة) “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” As-Sa’di berkata dalam tafsirnya, -hanya Allah yang Maha tahu kebenarannya- ayat ini menjelaskan supaya tidak bingung orang yang bingung dalam menetapkan akhir puasanya, karena itulah mereka harus menyempurnakan bilangan ramadhan, dan menghilangkan keraguan terhadapnya. Bersyukur kepada Allah ketika telah cukup bilangan ramadhan selama sebulan karena semua itu merupakan taufik, kemudahan dan penjelasan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Diantara cara bersyukur ketika itu adalah dengan memperbanyak takbir. Dan termasuk perintah takbir di sini adalah bertakbir ketika terlihat hilal syawwal sampai berakhirnya khutbah ‘Ied.[21]
Ibnu Katsir menjelaskan dalam kaitannya dengan takbir berdasarkan ayat ini, banyak para ulama mensyari’atan takbir pada hari raya ‘Iedul Fithri. Dawud bin Ali al-Asbahani az-Zhahiri mewajibkan pengumandangan takbir pada hari raya tersebut. Sementara ulama lain hanya menyatakan sunnah. Adapaun madzhab Abu Hanifah justru menyatakan bahwa takbir tidak disyariatkan pada hari raya ‘Iedul Fithri. Ini adalah perbedaan dalam rincian sebagian furu’ di antara mereka.[22] Dan karena itulah kaum muslimin berlapang dada dalam permasalahan furu’ di kalangan para ulama. Jika kaum muslimin mengerjakan apa yang diperintahkan Allah, berupa ketaatan kepada-Nya, dengan melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua larangan-Nya serta memperhatikan ketentuan-Nya, maka Allah menjanjikan mudah-mudahan termasuk orang-orang yang bersyukur atas hal itu.
Tafsir QS. Al-Baqarah Ayat 186
Allah Azza Wa Jalla berfirman,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186)
Doa memiliki kemuliaan dan keagungan tersendiri di sisi Allah, dan lebih khusus lagi di bulan ramadhan. Karena ayat 183-185 dan 187 adalah ayat-ayat yang berbicara tentang puasa di bulan ramadhan, sedangkan ayat ini diapit oleh ayat-ayat puasa. Ini berarti kedudukan doa di bulan ramadhan sangat mulia. Tidak heran bila kemudian para ulama dalam kitab-kitab mereka memasukkan diantara keistimewaan bulan ramadhan adalah doa orang yang berpuasa mustajab di sisi Allah. Terlebih lagi adanya dalil yang memperkuat hal ini seperti hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari Sahl bin Sa’ad, beliau bersabda :
ثلاث دعوات مستجابات, دعوة الصائم, و دعوة المظلوم, ودعوة المسافر
“Ada tiga macam doa yang dikabulkan, doa orang yang berpuasa, doa orang yang terzhalimi, dan doa orang yang bersafar.” (HR. Baihaqi dan lainnya)
Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa doa seorang muslim bisa tertolak di sisi Allah ketika dia tergesa-gesa dalam doanya. Ini berdasarkan hadits riwayat dari Abu Hurairah r.a bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لا يزال يستجاب للعبد ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم, ما لم يستعجل, قيل : يا رسول الله, وما الاستعجال؟ قال : يقول : قد دعوت و قد دعوت, فلم أر يستجاب لي, فيستحسر عند ذلك, ويدع الدعاء
“Doa seorang hamba akan senanantiasa dikabulkan, selama ia tidak berdoa untuk perbuatan dosa atau pemutusan hubungan (silaturrahmi) dan selama tidak minta dipercepat.” Ada seseorang yang bertanya : ya Rasulullah apa yang dimaksud dengan minta dipercepat itu?. Beliau pun menjawab : yaitu ia berkata aku sudah berdoa dan terus berdoa tetapi belum pernah aku melihat doaku dikabulkan. Maka pada saat itu ia merasa letih dan tidak mau berdoa lag.i” (HR. Muslim)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam penyebutan ayat yang menganjurkan untuk senantiasa berdoa di sela-sela hukum puasa tersebut di atas, terdapat bimbingan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa ketika menggenapkan hari-hari puasa bahkan setiap kali saat berbuka puasa.[23] Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad dan Sunan at-Tarmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ثلاثة لا ترد دعوتهم : الإمام العادل, و الصائم حتى يفطر, و دعوة المظلوم
“Ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak : penguasa yang adil, orang yang berpuasa hingga ia berbuka, dan doa orang yang dizhalimi.”
Tafsir QS. Al-Baqarah ayat : 187
Allah Azza Wa Jalla berfirman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 187)
Dalam menafsirkan ayat (وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ) “Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid”. Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ayat ini berkenaan dengan seseorang yang beri’tikaf di masjid pada bulan ramadhan atau di luar ramadhan, Allah Azza Wa Jalla mengharamkannya mencampuri istri pada malam atau siang hari hingga ia menyelesaikan i’tikafnya.”
Ibnu katsir menjelaskan bahwa boleh seseorang yang beri’tikaf pulang ke rumahnya karena suatu keperluan, akan tetapi tidak boleh berlama-lama melainkan hanya untuk sekedar keperluannya saja seperti makan atau buang hajat. Dan tidak diperbolehkan baginya mencium istrinya, merangkulnya, serta tidak boleh menyibukkan diri dengan sesuatu selain i’tikaf. Selain itu, ia juga tidak boleh menjenguk orang sakit, tetapi boleh menanyakan keadaannya ketika sedang melewatinya.[24]




[1] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2012 hlm. 433.
[2] Abdul Aziz As-Sadhan, Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia, Solo : Qiblatuna, 2011 hlm. 28.
[3] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisirul Karim Ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalamil Mannan, Beirut : Muassasah Ar-Risaalah, 2000 hlm. 148.
[4] Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi Jilid 1, Berut : Darul Fikri, hlm. 461.
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 434.
[6] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisirul Karim Ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalamil Mannan, hlm. 86.
[7] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 435.
[8] Ibid.
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 437.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Syaikh Abdul aziz Bin Baaz dll, Fatawa As-Shiyam, Solo : At-Tibyan, hlm. 142.
[13] Ibid.
[14] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 439.
[15] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 440.
[16] Ibid.
[17] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 441.
[18] HR. Bukhari dan Muslim
[19] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 441.
[20] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 442.
[21] Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisirul Karim Ar-Rahman Fii Tafsiiri Kalamil Mannan, hlm. 86.
[22] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 444.
[23] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 446.
[24] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hlm. 455.

0 komentar: