Syarat Diterimanya Amal

Oleh : Rudin, S.Si

Download tulisan, "Bismillah"



Untuk mengetahui sah atau tidaknya amalan seseorang sangatlah mudah, Anda cukup mendatangi salah seorang ustadz atau kyai, kemudian sebutkanlah sifat dan cara ibadah yang Anda maksud, setelah itu sang ustadz akan sangat mudah untuk menghukumi amalan tersebut, sah atau tidak. Akan tetapi jikalau Anda ingin mengetahui apakah amalan Anda itu shaleh (diterima) atau tidak di sisi Allah Azza wa Jalla, ini hal yang sangat sulit, karena tidak ada yang mengetahui akan hal ini secara pasti kecuali Allah Azza wa Jalla saja. Namun walau demikian, Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah bagi hambaNya, Dia telah memberikan rambu-rambu penting dalam beribadah, agar kita sekalian minimal memiliki gambaran tentang nasib amalan ibadah yang kita lakukan. Oleh sebab itu, setiap muslim hendaknya tidak hanya bercita-cita bagaimana agar amalannya sah semata, akan tetapi ia harus lebih berharap bagaimana agar amal ibadahnya diterima dan menjadi amal shaleh di sisi Allah Azza wa Jalla.
Para Salafus Shaleh telah berupaya untuk mengumpulkan kriteria diterimanya suatu amal dengan cara istiqra’ (penelitian) dari nash Al Qur’an dan Sunnah. Syarat-syarat dan kriteria tersebut antara lain:
1. Ikhlas.
2. Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, hendaklah kita mengikhlaskan seluruh amal ibadah kita kepada Allah dan memurnikannya dari segala bentuk kemusyrikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan semurni-murni ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah : 4)
RasulullahShallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الأعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sungguh hanyasannya setiap amalan itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan yang telah ia niatkan.” (HR. Muttafaqqun Alaihi)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun berkata:
إِنَّ اللهَ لا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلا مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَابْتَغِي بِهِ وَجْهَهُ (رواه النسائي وحسنه الألباني)
Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali dari orang yang ikhlas dan hanya mengharap wajahNya.” (HR. An Nasa’i dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani)
Di samping mengikhlaskan amal, kitapun dituntut untuk beramal sesuai dengan apa yang telah disyariatkan oleh Allah Azza wa Jalla melalui lisan RosulNya, Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
Katakanlah: Jikalau kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imron 31)
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan darinya maka dia tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan di dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya tertolak.”
Dengan dua syarat inilah seorang muslim dapat terjaga dari musuh-musuh beratnya yaitu; Riya, Bid’ah dan Syirik. Abul Izz Al Hanafi berkata: “…Maka keduanya merupakan tauhid, tidak ada yang dapat menyelamatkan seorang muslim dari adzab Allah kecuali dengan keduanya: Pentauhidan Yang mengutus (tauhidul mursil), dan Pentauhidan mengikuti yang diutus Shallallahu alaihi wa sallam.” (Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, hal: 200)
Ibnu Taimiyah berkata: “Secara umum, keduanya merupakan dua landasan agung, yaitu: pertama: Hendaklah kita tidak beribadah kecuali kepada Allah, kedua: Kita tidak beribadah kepadaNya kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya.”. dan kedua syarat ini adalah merupakan realisasi dari dua kaliamat syadat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
Artinya: “Agar (Allah) menguji kalian; siapa diantara kalian yang paling baik amalannya.” (QS. Al Mulk : 2)
Al Fudhail bin Iyadh berkata: “Yang terikhlas dan terbenar.” Mereka bertanya: Wahai Abu Ali, apakah yang dimaksud yang terikhlas dan terbenar? ia berkata: sesungguhnya suatu amalan itu apabila dikerjakan dengan ikhlas namun tidak benar, maka ia tidak akan diterima, dan apabila dikerjakan dengan benar namun tidak ikhlas, itupun tidak akan diterima, sehingga ia menjadi ikhlas. Dapat menjadi ikhlas manakala dikerjakan karena Allah Azza wa Jalla, dan benar manakala sesuai dengan sunnah, dan itulah realisasi firman Allah Azza wa Jalla:
Maka barang siapa yang mengharap berjumpa dengan Robbnya, hendaklah ia beramal shaleh, dan janganlah ia menyekutukanNya di dalam ibadah dengan seorangpun juga.” (Majmu’ fatawa 1/333-334)
Ibnul Qoyyim berkata: “Seorang hamba tidak dapat merealisasikan Iyyaka na’budu (hanya kepadaMu-lah kami beribadah) kecuali dengan dua asas yang agung, Pertama: Mengikuti Rosul Shallallahu alaihi wa sallam. Kedua: Ikhlas bagi Yang diibadahi.” (Madarijus salikin 83)
Mengerjakan sesuatu yang telah disyariatkan, dapat menjaga seorang muslim dari terjerumus ke dalam jurang kebid’ahan yang mesti ia hindari. Ibnu Taemiyyah berkata: “Demikian juga jika para Ubbad telah beribadah dengan perkataan dan amalan yang telah disyariatkan secara lahir dan batin, dan mereka telah merasakan manisnya perkataan yang baik dan amalan shaleh yang telah diperintahkan oleh Allah Azza wa Jalla melalui perantaraan rosulNya, niscaya mereka akan mendapatkan keadaan yang suci bersih dan kedudukan yang tinggi serta hasil yang memuaskan, tercukupi dari segala bentuk yang diada-adakan, seperti lagu-lagu tasawuf, bentuk-bentuk dzikir dan wirid yang telah dibuat oleh sekelompok Ahlul bid’ah karena kekurangan loyalitasnya terhadap sesuatu yang telah disyariatkan.” (Iqtidha hairatal Mustaqim 2/99)
Kita berharap semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang yang disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam firmanNya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا(103)الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا(104)
“Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi : 103-104)
dan dimasukkan ke dalam golongan orang yang ikhlas dan senantiasa mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tanpa menambah atau menguranginya. Dan semoga kita diteguhkan dalam golongan ini sampai akhir hayat kita. Amin. (Sumber : Kriteria Amal Shaleh, Zein Abu Wafa’)

0 komentar: