Zakat dan Distribusi Harta



Oleh : Samsul Basri, S.Si
I.1.    Latar Belakang
(Download Makalah) Perekonomian Indonesia saat ini masih belum stabil, banyak di antara masyarakat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Ini berarti kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat belum tercapai secara maksimal meskipun jumlah masyarakat miskin pernah mengalami penurunan sebesar 0,54 juta orang pada tahun 2012 dalam selang waktu enam bulan. Seperti yang dilansir dalam laporan data sosial ekonomi Indonesia kaitannya dengan kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96 persen). Mengalami penurunan sebesar 0,54 juta orang pada september 2012 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 28,59 juta orang (11,66 persen). Adapun tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 6,14 persen dari jumlah penduduk.[1]
Diantara faktor penyebab kemiskinan adalah banyaknya masyarakat kaya yang senang menumpuk-numpuk harta, dan bakhil terhadap hartanya atau enggan membelanjakan hartanya, sehingga perputaran (distribusi) kekayaan menjadi terhambat dan akibatnya merusak keseimbangan serta pembagian kekayaan dikalangan masyarakat. Sebab itulah Islam memerangi kebakhilan.
Islam menyuruh kepada ummatnya untuk membelanjakan harta. Yaitu membelanjakan harta disertai syarat fi sabilillah, di jalan Allah. Salah satu bentuk membelanjakan harta di jalan Allah, sekaligus solusi atas kemiskinan yang merupakan dampak dari krisis berkepanjangan adalah sebagaimana ungkapan ketua BAZNAS Prof. KH. Didin Hafidhuddin, hanya ada satu jawaban sebagai upaya menanggulangi dampak krisis ini adalah dengan zakat.[2]
Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan didistribusikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[3]
Allah telah menegaskan melalui Al-Qur’an ayat 60 di surat at-Taubah bahwa distribusi zakat hanyalah untuk delapan ashnaf (golongan). Yaitu golongan fakir dan miskin, amil zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), gharimin (orang-orang yang berutang), fii sabilillah (untuk jalan Allah), dan ibnu sabil (orang-orang yang sedang dalam perjalanan).[4]
Penetapan delapan golongan ini menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya.[5]
Abdullah Abdul Husain at-Tariqi mengatakan, jika harta sejumlah 4/10 diambil dari kekayaan kelompok kaya dan dijadikan kepemilikan masyarakat, maka tidak lagi diragukan bahwa harta sejumlah itu akan menjadi saham kongkret yang mampu membantu pemecahan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa-bangsa di dunia ini.[6]
Dengan melihat pentingnya pemerataan pendapatan dan potensi dana zakat yang begitu besar, sangat dibutuhkan kajian tentang zakat dan distribusi harta. Sehingga dana zakat yang terkumpul ini dapat disalurkan dengan benar dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi, sekaligus dapat membantu dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat.
            Karena itulah masalah utama yang diangkat dalam tulisan ini adalah mengenai zakat dan distribusi harta.

(Download Makalah)


[1] BPS, Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi, Edisi 34, Jakarta : BPS, 2013 hlm. 103.
[2] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infak Sedekah, Depok : Gema Insani, 2006.
[3] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat Infak Sedekah, hlm. 13.
[4] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008 hlm. 280.
[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4 edisi terjemahan, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2012 hlm. 256.
[6] Abdullah Abdul Husain at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, Dasar dan Tujuan, Yogyakarta : Magistra Insania Press, 2004 hlm.73.

0 komentar: